Tanggal 5 Februari 2025, hari yang ditunggu-tunggu, hari yang gua tandai pake spidol warna merah di kalender, sidang perceraian pertama ibu gua. Sejak beberapa waktu lalu, gua rasanya takut banget ibu kenapa-napa. Bahkan pagi ini, gua nangis karena khawatir ibu bakal ngalamin apa yang gua alamin. Dibully dan dikeroyok sama keluarganya ayah, gua khawatir keluarganya ayah dateng geroyokan. Tapi, ibu selalu meyakinkan gua, betapa kuatnya dia.
"Ummi kuat, nak"
"Ummi gapapa, ummi sanggup, kok"
Ya, gua bener-bener baru sadar, kalau ibu gua memang sekuat itu. Dari dulu, ibu ga pernah nuntut apa-apa ke ayah atau anak-anaknya. Ibu selalu mementingkan kebahagiaan kami, ibu selalu memprioritaskan kepentingan dan kebutuhan ayah. Ibu sampai lupa, lama-lama ibu jadi kehilangan dirinya sendiri.
Hari ini, ibu bener-bener terlihat dan terdengar berbeda. Selama menunggu antrian persidangan, ibu mengaji, semua surah-surah yang ada di Al-qur'an kecil kesayangannya berulang kali ia baca dalam hati. Ibu sepenuhnya bertawakal, berharap hatinya lega, dan bisa menjalani sidang cerai pertama itu dengan sebaik mungkin. Gua bener-bener salut luar biasa, bahkan ketika ayah datang dan kaget karena ibu hadir di persidangan itu, ibu tidak gentar sedikitpun. Dengan berani, ibu bilang bahwa ia juga diundang, jadi tentunya dia berhak datang.
Belum lagi, sejak Juli 2024 lalu, ketika ibu memutuskan untuk pergi dari rumah dan kembali ke kampung halamannya. Sikap yang dulu biasa ibu maklumi, terlihat semakin menjadi. Bahkan ketika luka di hati ibu masih basah, ayah tidak sengan memamerkan dirinya yang sudah memiliki pacar baru. Belum genap sebulan ibu dan kami--kedua anaknya pindah dari rumah dimana ayah berada, ayah sudah kembali melukai hati ibu lagi. Dengan tidak tau malu, ayah bilang, ayah ingin buru-buru mengurus perceraian, karena dia ingin segera menikah lagi. Dengan tidak tau malu, awalnya ayah meminta ibu untuk mengurusnya, karena ayah tidak ingin keluar uang. Dengan tidak tau malu, ayah meminta gua untuk mengeluarkan uang untuk mendaftar perceraian itu. Lucu, ya?
Di persidangan cerai hari ini, ibu mengungkapkan banyak hal. Betapa tidak ikhlasnya ibu kalau motor NMAX yang ia cicil 35x itu harus dinaiki oleh pacar ayah, bahkan ibu juga jijik kalau motor yang ia usahakan setengah mati itu harus dinaiki dan digunakan oleh ayah. Ibu juga menjelaskan dengan lantang, kalau ia tidak rela rumah yang ia renovasi dan perbaiki harus ditinggali oleh istri baru ayah nanti. Ketika ibu meminta motor untuk dikembalikan, rumah untuk dibagi secara adil, dan nafkah adik gua yang masih berumur 7 tahun (yang jarang bahkan hampir tidak pernah ayah berikan selama ini), ayah dengan enggan menampik dan tidak mengakui hal-hal tersebut. Ayah menganggap bahwa sudah tidak ada lagi 'harta gono-gini' yang tertinggal. Padahal, kasur yang dia tiduri saja ibu yang beli. Bahkan, lemari yang dia pakai, ubin yang dia injak, listrik yang dia gunakan, air yang mengalir, pintu dan jendela yang ada dan segala macam hal yang ada di rumah tempat ia tinggali, ibu gua yang memasang, membuat dan mengusahakan semuanya. Ibu mengalah dan tidak pernah marah ketika gaji ayah hanya dipakai untuk kepentingan dirinya sendiri. Ibu tidak pernah menuntut ayah untuk membelikannya sesuatu. Bahkan ayah tidak pernah terbuka soal gaji dan penghasilannya. Seringkali ibu harus menahan sakit hati karena ayah lebih mementingkan dirinya sendiri, atau lebih memprioritaskan Bapak dan Ibunya serta adik-adiknya. Bagi ayah, kami hanya opsional. Bagi ayah, kami bukan prioritas. Ibu selalu berharap, ayah akan berubah. Tapi nyatanya? di surat gugatan cerai, ayah hanya mengedepankan egonya. Menuliskan bahwa ibu lah yang salah, ibu yang keras kepala, ibu yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Ibu menyadari, kalau itu sudah tabiat yang tidak akan berubah. Akhirnya, ibu lelah dan menyerah.
Persidangan berlangsung dengan singkat, hanya lima menit. Setelah sidang pertama itu usai. Raut wajah ayah terlihat semakin kesal dan marah. Ayah benar-benar tidak menduga kalau ibu akan hadir di persidangan itu. Sehingga pasca persidangan, ayah harus membayar Rp. 250.000 untuk mediasi, itu di luar harapannya. Gua tau, ekspektasinya sudah terlalu tinggi, karena sebelumnya ibu memang berjanji untuk tidak hadir. Tapi, berubah pikiran setelah melihat ayah berpelukan mesra di atas motor NMAX yang ibu beli. Gua tau betul, apa yang ayah pikirkan. Ayah pikir, persidangan hari ini akan selesai tanpa mediasi, hanya menunggu putusan saja. Karena ayah sudah meminta cenderung mengancam ibu. Berkata bahwa ibu harus mematuhi ayah, setidaknya untuk terakhir kali. Tapi ternyata, ibu datang dan malah menuntut banyak hal, termasuk rumah dan motor yang menurut ayah adalah miliknya, yang pikirnya akan ayah miliki sepenuhnya, ia tempati sepuasnya bersama istri barunya nanti๐
Di sidang mediasi, saat ibu menjelaskan semuanya, ayah menangis. Saat mediator bertanya "Kenapa nangis, pak? Bapak masih cinta sama istri bapak? ini masih istri bapak, lho." Ayah lalu merespon "Sekarang udah engga" Haha, air mata buaya yang ia keluarkan saat mediasi itu tidak mempan lagi, bagi ibu, ayah juga bukan suaminya, lagi. Saat ayah menjelaskan banyak hal, pun ibu yang dengan berani menjabarkan banyak fakta-fakta masuk akal untuk menyangkal segala argumentasi ayah, mediator pun akhirnya mengerti bahwa mediasi yang ada itu percuma, mediator tau betul duduk permasalahan yang terjadi.
Beberapa minggu lagi, ibu dan ayah akan dipanggil lagi untuk sidang kedua, yang kemungkinan besar merupakan sidang terakhir.
Setelah sampai di rumah, ibu langsung menceritakan semuanya, mulai dari apa yang dia rasakan sekarang sampai segala macam yang dia alami di atas ke gua. Gua bersyukur, ibu sekarang sudah lega dan bahagia. Kelihatan betul ada beban berat yang sudah lepas dari pundaknya, terdengar jelas dari suara ibu, ada batu besar yang tadinya mengganjal dan membuat sesak sudah lepas dari hatinya. Gua bersyukur, ibu bisa membela dirinya sendiri. Setelah sekian lama dimanipulasi, digaslight, dilarang ini itu, disakiti, dikecewakan dan tidak pernah dibela sekalipun oleh ayah. Ibu akhirnya bisa berdiri di atas kakinya sendiri, kaki yang dulu terpasung karena bersuamikan ayah, kini lepas sudah.
"Ummi ga nangis, nak."
"Ummi udah jijik liat dia."
"Ummi berasa plong banget, nak. Rasanya ummi kayak balik lagi ke jaman ummi muda dulu."
"Sambil nunggu sidang, ummi ngaji, ummi bener-bener tawakal dan serahin semuanya ke Allah."
Gua bangga banget sama ibu gua, gua salut banget sama ibu gua.
Ibu gua, pantas bahagia dan dapetin segala hak-hak yang ga pernah dia dapetin selama 26 tahun pernikahannya. Gua ga sabar menunggu sidang kedua, gua harap segalanya berjalan baik, dan ibu gua tetep menjaga semangatnya sampe putusan akhir diumumkan Hakim, Aamiin Ya Rabb!๐
-Sekian-
No comments:
Post a Comment